Monday, December 14, 2009

EMPAT: Semakin bertambah perasaanku


Nadhirah meluru masuk ke kamar beradunya. Tas tangan dan barangan yang baharu saja dibeli tadi diletakkan di penjuru katil lalu dia merebahkan badan ke atas katil. “Letihnya,” bisik Nadhirah. Beberapa saat kemudian, dia terus lena dibuai mimpi.

Di luar rumah, Qaiser hanya memandang jauh perlakuan adiknya. Setelah Nadhirah hilang dari pandangan, dia mengunci kereta dan melangkah masuk ke dalam rumah. “Qaiser, what’s wrong with Nadhirah?” satu suara menegur. Qaiser yang terkejut lantas beristighfar dan mencari tuan punya suara. Kelihatan seorang lelaki muda melangkah menuju kearahnya. Dia tersenyum. “Oh, Dhamiri. Nothing’s wrong, actually. She’s just tired, I believe,” Qaiser menjawab pertanyaan Zayyad Dhamiri, sepupunya.

“Is that so? She must be so tired that she didn’t realize I was just beside her when she pass me. By the way, I am back from London,” Dhamiri tersenyum lebar. Dia menyalam tangan Qaiser dan memeluk erat. Setelah pelukan dilepaskan, mereka berdua menuju ke arah ruang tamu. “So, are you going to ask me about your beloved Zhufairah Dzakirah?” tanya Dhamiri sedang mereka berdua duduk berhadapan di atas sofa. “Why would I? You will tell me anyway,” balas Qaiser. “You really can read my mind, big brother. Well, since you said that, I won’t. You, Qaiser, will ask her yourself,” balas Dhamiri.

“Tell me you are joking,” Qaiser memandang Dhamiri, mencari kebenaran. “He’s not joking. I am here,” satu suara membalas. Qaiser yang mengenali suara itu tersenyum, hatinya gundah sekali. Setelah menarik nafas panjang, dia memandang pemilik suara itu yang berdiri di hadapan pintu kamarnya. “It wasn’t a dream, Qaiser. She’s here. Your fiancĂ©e,” Dhamiri sekali lagi tersenyum lebar dan menepuk belakang Qaiser. 

No comments:

Post a Comment